All The Bright Places
Teruntuk diriku yang lama tak bersua, apa kabar kamu disana? Masihkah kau menari dengan tawa, masihkah kau menari dengan tangis? Aku begitu mencintaimu, mari kembali bercakap.
Hi Nena, apa kabarmu?
Lama tak bercakap, aku merindukanmu, mari duduk sebentar.
Lama sudah kita mengurung diri dengan semua keresahan masa lalu dan masa depan. Sampai kita lupa untuk kembali mencintai setiap hari dalam hidup ini. Sudah cukup kita mengurung diri karena begitu banyak pertimbangan yang datang dari pengalaman yang menciptakan trauma yang menghalang kaki untuk kembali berlari.
Aku tahu bawa semua terkesan sulit untuk di pahami dengan pikiran jernih sekali pun. Namun, bukankah hidup hanya sekali? Bagaimana bisa kita terus mengurung diri karena takut kenangan akan membawa luka? Bukankah semua itu seharusnya menjadi tahap hidup yang membuat kita kembali mencintai.
Sebelum kematian datang menghampiri, mari kembali mencintai dengan sepenuhnya. Walaupun yang ada sekarang tak akan abadi, marilah kita tetap tertawa bersama. Tak ada yang salah dari kenangan yang manis, karena kau tertawa, marah dan menangis pada porsinya.
Jika saatnya telah tiba, maka itu adalah saat dimana kita akan siap menghadapinya. Kita sudah mendatangi tempat yang kita lingkar di atas peta, kita telah melompat dari tebing ke dasar danau yang kita awalnya sangat takut untuk melakukannya. Kita telah mencintai dengan hati yang tulus dan menciptakan bahagia di mata manusia lainnya.
Setidaknya kita sudah belajar menantang segala ketakutan yang menahan kaki kita untuk melangkah. Setidaknya sebelum rembut ini memutih, kita telah mencintai dengan sepenuh hati. Tak ada yang salah dengan terluka dan menangis selama dua tahun. Kita menjadi semakin kuat di setiap detik dalam kehidupan ini.
Kita sebelumnya memiliki begitu banyak kekhawatiran di dalam hidup. Kita takut akan kematian, kita takut di tinggalkan, kita takut dengan kegelapan dan hari yang mendung dan hujan yang lebat. Begitu banyak hal besar dan kecil di dalam hidup yang selalu kita khawatirkan, hingga kaki kita selalu ragu untuk melangkah.
Namun bukankah yang harus kita khawatirkan adalah saat dimana kita tidak merasa hidup karena terus berdiam di dalam sudut kamar?
Kita kini khawatir bagaimana jika tidak merasa hidup saat sebenarnya kita sedang bernapas. Khawatir bagaimana jika banyak tempat di atas peta tak kita coret satu per-satu. Khawatir bila kita tak mencintai dengan sepenuhnya siapa pun yang datang dalam kehidupan kita.
Kita terlalu khawatir jika terlihat baik maka akan tersakiti pada akhirnya. Maka seringlah kita bersikap seolah-olah kita adalah manusia yang paling tak punya hati. Namun ternyata tak apa! Tak apa kalau memang kita memiliki hati yang tulus dalam memberi, tak apa bila kita mencintai saat tak dicintai, tak apa untuk tetap menari meski tengah menangis dalam piluh dan tak apa saat kita menari saat bergembira.
Kita hanyalah segumpalan daging yang tak abadi, maka apalah yang kita cari dalam hidup, jika bukan menciptakan kenangan. Apakah keabadian adalah sebuah jawaban? Kita sama-sama mengerti, itu bukanlah jawaban yang kita cari. Ini mengenai menikmati setiap detik dalam hidup, hari yang cerah dan mendung, Tangisan dan bahagia, miskin dan kaya, makan dan kenyang, mencintai dan terluka.
Jika gajah mati meninggalkan Gading, maka biarlah kita mati dengan meninggalakan nama yang setidaknya bisa untuk di kenang. Dengan itu kita siap untuk di jemput oleh maut kapan pun. Tak ada lagi kata siap atau tak siap, Kita siap untuk pergi pada saat kita harus pergi.
Nena, aku berbahagia karena kita bisa saling berpelukan saat tak ada yang memeluk. Akan ku katakan sekali lagi, aku menyayangimu dengan setiap kebodohan, kepintaran, tawa yang menggangu telinga, nyanyian di setiap perjalanan dan hati yang selalu tulus mencintai.
Kamu tak pernah sendiri, sama halnya dengan cinta yang kau berikan kepada mereka, begitu pun besar cinta yang kau berikan kepada kita berdua, satu tubuh yang memeluk satu sama lain.