Jika Hidup Sudah Berkata: Kita Bisa Apa?

Trivena GV
4 min readAug 1, 2020

--

Aku tak bisa menguraikannya, namun beginilah cara kita menjalani kehidupan. Kita berbeda dalam segala hal dan kita hanya harus menerimanya.

Photo by Allef Vinicius on Unsplash

Aku menghadapi keputusan terberat dalam hidup belakangan ini. Mencoba untuk mencerna segalanya namun semua terasa semakin tidak masuk akal. Aku kembali menceritakan segala keadaan yang ku hadapi dengan beberapa teman terdekat, namun hasilnya makin membuatku kebingungan dalam mengambil langkah kedepan. Standard mereka berbeda dengan standardku, cara mereka melihat sesuatu berbeda dengan caraku melihat sesuatu. Mungkin aku seharusnya hanya perlu menerima itu dan tetap berjalan dengan standardku.

Aku terjebak di siklus hubungan yang cukup remit, sering kali terjadi, mau seberapa keras aku mencoba untuk memperbaiki diri masalah yang sama selalu datang. Ada hubungan percintaan yang begitu pahit namun terus ku pertahankan bertahun-tahun, berharap semuanya kan baik-baik saja pada akhirnya. Ada pun hubungan percintaan yang pahit yang ku lepaskan pada saat semuanya terasa pahit dengan alih-alih tak ingin menyakiti diri sendiri.

Aku selalu mencoba, menjadi versi terbaik dari diriku sebagai seorang manusia. Aku hanya mencintai, karena aku memiliki standard bahwa tidak ada yang perlu di rumitkan dalam sebuah hubungan percintaan, yang kita butuh hanyalah mencintai dan tak ada yang lain yang harus di pikirkan.
Namun mencitai terkadang tak cukup bagi beberapa orang yang ku temui dalam perjalanan percintaanku.

Seberapa keras aku berusaha, seberapa keras aku berdiri di atas pendirianku aku selalu di pertemukan dengan mereka yang tak pernah cukup dengan cinta dari satu orang saja. Ada pun mereka yang belum sanggup untuk mengidentifikasi manusia seperti apa mereka sebenarnya, ketidak yakinan akan keputusan diri sendiri.

Terkadang aku berprasangka, apakah aku yang tak memiliki kemampuan untuk menilai seseorang pada awalnya? Apakah aku yang tidak memiliki kesabaran untuk menunggu sampai semuanya muncul ke permukaan?.
Pertanyaan-pertanyaan itu kian merasuk dan menjatuhkan kepercayaan diri yang selalu kubangun dalam tahun-tahun hidupku. Menambah ketidak nyamananku pada diri sendiri yang aku rasa selalu belajar agar tetap menjadi manusia yang lebih baik setiap harinya.

Namun bukan itu semua, aku mendapati diriku sebagai seorang insan yang selalu berempati kepada mereka yang sadar atau pun tak sadar, menghadapi kebingungan dalam hidupnya. Bukan aku yang yang tak pandai memilih, namun rasa ingin merangkul mereka yang membutuhkan cinta lebih besar dari segala kekhawatiran untuk patah hati di masa yang akan datang.

Aku selalu mengeluh-eluhkan mengenai mencintai diri sendiri, namun jika kembali melihat kebelakang dan saat ini bagaimana aku terus menerus memaafkan mereka yang mendua. Semakin menabah pendapat dari setiap kawan bahwa aku tak cukup mencintai diri sendiri, karena terus ku izinkan luka menggoresku secara kasar ataupun perlahan.

Tak bisa ku pungkiri trauma telah tercipta, hati yang hancur, dan kepercayaan yang tak sempurna, saat memulai kembali sebuah hubungan. Namun, aku tak bisa beranjak dari semua yang telah atau pun sedang terjadi. Kehidupan sekan menguji usahaku untuk mencinta.

Aku dan mereka memiliki standard kehidupan yang mengkin agak berbeda. Aku melindungi diri dengan memaafkan, itu yang setiap hari di ajarkan oleh mama. Cinta itu memiliki berbagai mancam unsur, ego adalah salah satu di dalamnya. Aku tidak menentang apa yang di anut oleh sekian banyak teman-temanku ataupun manusia lain di luar sana. Aku hanya memiliki prinsip yang sedikit berbeda dengan mereka, aku hanya mencoba menjadi versi terbaik dari diriku sendiri.

Seperti yang telah aku pahami dan mengerti, bahwa cinta adalah simbol dari kebaikan diri kepada orang lain dan diri sendiri. Aku sering kali memaafkan diriku yang terus menerus melakukan kesalahan dalam segala hal. Aku memeluk diriku dan memberinya rasa nyaman, dan selalu meyakinkannya bahwa besok kita akan memulai hari yang baru dan kita bisa memulainya kembali.

Cinta seperti itulah yang coba ku berikan kepada mereka yang masuk di dalam kehidupanku. Cinta yang sanggup untuk memaafkan, cinta yang sanggup untuk bersabar, cinta yang sanggup untuk mengerti bahwa kita hanya berbeda. Disaat segalanya menjadi kian rumit aku hanya ingin mereka tahu bahwa seseorang yang mencintai akan selalu ada.

Sama seperti diriku yang selalu memaafkan diriku sendiri, maka aku akan memaafkan mereka dengan kesalahan yang mereka perbuat. Jika aku tak sanggup untuk mencintai tanpa balas maka aku tak pantas untuk mengakui bahwa dasar diriku menjalani sebuah hubugan percintaan adalah mencintai. Itu akan menjadi kepercayaan yang cacat dan tak berdasar.

Namun dengan kepercayaan yang seperti ini, aku harus menjadi pribadi yang kuat. Tahan akan segala hal yang seringkali merobek hati, karena sudah jelas bahwa yang ku cintai adalah manusia lain yang memiliki bagian yang tak bisa ku atasi. Namun di situlah seni dari mencintai tanpa mengharap balas. Kau sadar bahwa dirimu hanyalah seorang manusia dengan semua ego dan ambisi. Namun berusaha menjadi sosok yang kau percayai adalah nyata, dan kau sanggup untuk menjadikannya nyata dalam dirimu. Itu adalah sebuah seni dari mencinta.

Bagaimana bisa kau mencintai yang tak terlihat, di saat kau masih mengharap balas dari yang terlihat?

--

--

Trivena GV
Trivena GV

Written by Trivena GV

Vinyasabyvena.com | Yoga Teacher | Practice Stoic in daily life | Varies in nature and art of life | There is no one-size-fits all to live your best life

No responses yet