Merry Christmas
Aku terduduk di balkon kamar sekali lagi, kali ini aku kembali menantikan natal, sendiri dan tak memiliki siapa pun.
Ini terkesan lucu dan tak seharusnya untuk terlontar dari bibirku atau bahkan tak perlu aku tulisi dan tangisi. Setelah melewati natal lebih dari 5 tahun tanpa keluarga, aku tak lagi memiliki agama sama sekali. Tak percaya akan adanya sosok Tuhan dan manusia yang sanggup mengisi setiap kekosongan dari dalam bagian diriku yang tak sepenuhnya bisa dimengerti. Aku rasa, aku sudah terbiasa dengan kesendirian ini.
Aku anak bungsu dari lima bersaudara yang paling Mandiri,kurasa. Aku menginginkan perhatian, jauh dari dalam lubuk hati selalu meronta ingin memiliki perhatian yang tak hentinya untukku. Tapi aku tersadar bersama dengan gembulan asap rokok yang tak pernah lepas dari bibirku. Aku sadar bahwa tak akan pernah ada yang abadi. Aku tak selamanya bisa mengharapkan perhatian dari makhluk yang bersifat temporary.
Bagaimana kalau ternyata aku terus mencari dan berharap mendapat? Aku tak cukup senang dengan hasil akhir yang tak seperti yang aku harapkan. Aku terus merasa kecewa dengan hasil yang tak sesuai harapan. Sama seperti saat aku akhirnya memutuskan untuk tak memiliki tuhan, namun ternyata aku tetap merindukan suasana natal bersama keluarga atau setidaknya seseorang yang cukup spesial untuk menemaniku mengenang natal dimasa kecil.
Aku berpikir dengan rokok yang hampir membakar jariku, bagaimana jika sampai nanti aku menapaki tahap mati rasa yang sebenarnya. Dimana tak ada lagi rasa takut untuk kehilangan, karena sakit adalah makananku setiap harinya. Aku merasa tak perlu ada lagi yang harus kupaksa untuk mengertiku, karena tak akan ada yang bisa. Pada akhirnya aku semakin jauh dari kata rindu dan cinta, apiku semakin hari semakin padam, mungkin karena sudah di siram dengan air bertahun-tahun. Bagaimanapun kayu yang basah susah untuk menciptakan api yang membara.
Ah, kembali lagi pada ingatan itu!
Natal bersama keluarga dan menahan tangis karena tak mendapat giliran untuk menyalakan kembang api. Ingin menjadi dewasa agar bisa mengusai kembang api tanpa ocehan dari kakak-kakak, papa dan mama. Tapi ternyata tumbuh menjadi dewasa membawaku pada tahap yang tak ingin bermain kembang api. Pada nyatanya aku di Sini, terduduk menunggu tanggal 25 Desember 2019.
Tumbuh besar itu banyak air mata, namun sekarang aku tak sanggup menangisi keadaan yang sebenarnya menghancurkan hati sampai membuat dada terasa berat. Mungkin beginilah manusia, mencoba untuk mempercepat langkah pada hal seharusnya bisa cukup dengan berjalan dengan santai. Ah, lagi-lagi! Aku kembali terburu-buru. Mungkin karena itu aku selalu terduduk sendiri di balkon dengan kepala menengadah ke atas.
Air mataku ingin keluar namun logikaku menahannya, Dadaku terasa sesak sampai sakitnya menuju ujung kepala. Bagaimana bisa terjadi? Selalu merasa sendiri saat banyak mereka yang berlarian di depan mataku. Aku seperti, sendiri, namun tak kutangisi keadaan ini. Aku hanya seorang pemain tunggal dalam permainan hidup, aku berjalan dengan memegang tanganku sendiri, bersedih dengan memeluk diriku sendiri. Aku tak pernah mengizinkan manusia satupun masuk kedalam hidupku, bahkan untuk memberi penyembuh luka.
Tak kubuka, karena itu percuma, aku memang tak ingin disembuhkan. Menurutku tak ada luka yang berat, ini hanya luka ringan yang sering terjadi. lama-lama akan mematikan dan hanya menunggu bertumbuhnya toxic untuk dibiarkan menggerogoti setiap inci dari dalam diriku.
Aku bersedih namun tak menangis dan akan tetap mengucapkan Merry Christmas.